(suterachannel.id) Wajo – Sulsel, Mappatoppo, tradisi unik yang dijumpai di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, kembali mencuri perhatian seiring kembalinya jamaah haji dari Tanah Suci. Tradisi ini bukan sekadar seremoni budaya, namun mengandung pesan spiritual yang mendalam, sekaligus menjadi pengingat akan tanggung jawab moral pasca-haji.
Pembimbing ibadah Haji & Umrah PT Darmawan Tour & Travel, H. Hasan Basri S.Pd.I., M.Pd, menjelaskan bahwa, secara harfiah, mappatoppo berarti meletakkan sesuatu di atas kepala, hal ini dilakukan oleh jamaah yang baru pulang dari Tanah Suci sebagai simbol penghormatan, kemuliaan, dan kesucian setelah menunaikan rukun Islam kelima.
Tradisi ini lazim dilakukan saat jamaah haji tiba di kampung halamannya, terutama di wilayah Bugis dan Makassar, Sulawesi Selatan. Biasanya disertai dengan pemakaian songkok putih, sarung baru, serta iring-iringan penyambutan yang penuh haru dan doa.
Selain sang haji dan keluarga, masyarakat sekitar turut serta menyambut, tradisi ini mencerminkan nilai kolektif bahwa haji bukan hanya urusan pribadi, melainkan kebanggaan bersama.
Kepala adalah bagian tubuh yang paling mulia, meletakkan sesuatu di atas kepala, terutama pada momentum pasca-haji, menjadi lambang penghormatan tertinggi terhadap perjuangan spiritual yang telah dilalui.
Namun demikian, di balik keagungan tradisi tersebut, terdapat pula peringatan moral yang tak boleh diabaikan.
Sebagai pembimbing ibadah haji dan umrah, Hasan Basri menekankan bahwa mappatoppo bukan hanya soal adat, tapi juga tentang tanggung jawab rohani yang harus dijaga setelah menyandang gelar haji.
“Tradisi mappatoppo itu sangat sakral, tapi jangan sampai hanya jadi simbol tanpa perubahan nyata, banyak yang tampil syar’i saat di Mekkah, tapi begitu pulang, pakaiannya kembali membuka aurat. Ini kontradiktif,” ujar Hasan Basri kepada tim suterachannel.id melalui pesan whatsapp. Rabu (18/6/2025).
“Sebagai pembimbing, saya sering sampaikan bahwa pulang haji bukan hanya soal perubahan status sosial, tapi harus disertai perubahan akhlak dan konsistensi dalam beribadah, alau tidak, itu hanya jadi perjalanan fisik, bukan spiritual,” tambahnya.
Tradisi mappatoppo juga mengandung semangat syariat, di mana busana dan perilaku seorang haji semestinya menjadi teladan di masyarakat, dalam Surah Al-Ahzab ayat 59, Allah SWT memerintahkan agar perempuan muslimah menutup auratnya sebagai bentuk perlindungan dan kehormatan diri.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS. Al-Ahzab: 59).
Hasan Basri menegaskan bahwa ayat tersebut seharusnya menjadi pedoman hidup bagi para haji, khususnya perempuan, agar perubahan lahiriah selaras dengan perubahan batiniah.
“Tradisi mappatoppo adalah warisan budaya yang sangat berharga, tetapi nilai sejatinya akan sirna jika tidak dibarengi dengan perilaku yang sejalan dengan ajaran Islam, gelar “Haji” adalah amanah, bukan hanya sebagai status, maka menjaga konsistensi iman dan amal setelah pulang dari Baitullah menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditawar.” tutupnya.
Deden.